Sunday, March 23, 2008

TAK PERNAH BERTENGKAR? JUSTRU HARUS CURIGA!

TAK PERNAH BERTENGKAR? JUSTRU HARUS CURIGA!




Bisa dipastikan hampir semua pasangan pernah bertengkar. Soalnya, dua pribadi berbeda ini tak mungkin selalu steril dari masalah.




Enggak pernah bertengkar dengan pasangan? "Pasti itu cuma kamuflase," kata psikolog Elly Risman. Malah, lanjutnya, "Mungkin justru untuk menutup-nutupi keadaan rumah tangga yang sebenarnya. Wajar, kan, kalau orang cenderung menutupi hal-hal yang jelek."




Justru yang jadi masalah, bukan pernah-tidaknya bertengkar melainkan, "Bagaimana cara pasangan mengendalikan emosi agar pertengkaran tidak jadi semakin seru dan berakhir dengan tak enak." Kuncinya, tak lain, pola komunikasi, interaksi, keterbukaan, dan kepedulian dari masing-masing pasangan.





POTENSI BERTENGKAR




Mengapa bertengkar dalam rumah tangga dibilang wajar? "Sebab, tak mungkin ada orang hidup tak bermasalah," tegas psikolog keluarga Yayasan Kita dan Buah Hati ini. Penyebabnya pun bisa macam-macam. Antara lain:




1. Suami-istri adalah dua pribadi yang berbeda dan unik. Karena tak sama, berarti potensi berbedanya banyak.




2. Pola asuh yang diterima/dialami juga berbeda. Soal mengutarakan pendapat, misalnya. Yang satu biasa bersikap terbuka, sementara pasangannnya tidak. Sayangnya, mayoritas diasuh dengan gaya komunikasi yang menghambat seperti memerintah, membanding-bandingkan, meremehkan, menganalisa, mengkritik, sehingga anak tak bisa mengutarakan pendapatnya.




3. Tak ada sekolah untuk menjadi orang tua seperti halnya sekolah jadi insinyur, dokter, dan lainnya. Alhasil, jadi orang tua sepertinya terjadi otomatis begitu saja tanpa ada kesiapan.




Nah, tiga masalah itulah yang berpotensi menyulut pertengkaran suami-istri.




IMAN KUAT




Bertengkar, tutur Elly, merupakan salah satu penyaluran emosi. Kalaupun tak bertengkar, bukan berarti bisa mengendalikan emosi. Apa pun juga, tidak berantem bukan berarti, "Semuanya oke-oke saja."




Pasangan yang tak pernah bertengkar, bisa jadi karena masing-masing terbiasa mengendalikan diri. Mungkin, misalnya, istri termasuk orang yang biasa menyerah atau tak mau ribut. "Tapi satu saat, tentu enggak bisa ditahan lagi," kata Elly.




Bisa juga karena mempertimbangkan atau menjaga perasaan anak. "Ada, kan, pasangan yang cerai saat usia mereka sudah 70 tahun? Alasannya, ingin menjalani sisa hidup seperti yang dikehendakinya karena selama ini capek bertenggang rasa." Dengan kata lain, ada rasa tanggung jawab terhadap keluarga dan juga mempertimbangkan dampak bercerai bagi perkembangan anak.




Selain itu, keunikan individu dan pola asuh, telah membentuk pribadi seseorang. Mungkin saja selama ini dia dilatih untuk mengutamakan kesabaran. Atau karena imannya kuat sehingga tiap ada masalah, "Bisa disikapi dengan sabar tanpa harus bertengkar karena menganggap hal itu sebagai ujian dari Tuhan. Orang seperti ini bisa tahan dalam keadaan seperti apa pun. Meski kesal pada pasangan, tapi lantaran agamanya kuat, dia tak bertengkar."




JANGAN DITAHAN




Tentu saja banyak keuntungan jika tak pernah bertengkar. Suasana rumah tetap tenang dan tidak tegang. "Tapi suasana hati belum tentu, lo. Soalnya, emosi yang tidak tersalurkan atau tidak terbuka, bisa menciptakan iklim psikologis lebih buruk dari pertengkaran itu sendiri. Masalahnya, amarah tak keluar atau tersalurkan."




Bisa saja si istri yang memendam emosi, kemudian menyalurkan pada anaknya. Anak salah sedikit, langsung dicubit atau dimarahi. Sementara suami, jika tak bisa menyalurkan emosinya dengan baik, bisa tak betah di rumah dan malah berulah macam-macam di luar rumah.




Nah, kata Elly, emosi pasangan harus dikelola dengan baik. Nyatakan hal positif ataupun negatif yang dirasakan. Misalnya, "Saya merasa kesal karena...." Jadi, sebutkan alasan dan jangan malah menyalahkan, "Kamu, sih, begini-begini... Jadinya..."




Kalau memang ingin bertengkar, lakukan saja, tak, perlu dipendam atau ditutupi karena bisa menimbulkan stres. "Masalah, kan, harus diselesaikan. Tentu saja dengan cara baik-baik. Musyawarah, misalnya." Bicarakan secara baik-baik lalu cari titik temu. "Lalu saling memaafkan dan tinggal berserah diri pada Tuhan. Nyaman, kan?"




Dedeh Kurniasih.




Anak Boleh Tahu




Mau bertengkar? Boleh-boleh saja. "Tapi cari tempat yang tertutup dan tak terdengar anak. Kalau perlu, anak-anak diungsikan sementara waktu," saran Elly.




Beda kalau sekadar adu argumen. "Boleh saja dilakukan di depan anak yang sudah agak besar. Idealnya, boleh dilakukan di depan anak usia 14 tahun ke atas." Tapi ingat, lo, hanya sebatas masalah jadwal keseharian, perawatan rumah, uang belanja. Sementara soal aib pribadi masing-masing, misalnya ibu punya selingkuhan, tentu hanya boleh dibicarakan dengan pasangan saja.




Biarkan anak melihat dan menilai sendiri, mana yang benar. Toh, nanti pun mereka akan menikah dan mampu menyelesaikan persoalannya. "Anak perlu tahu bahwa hidup tak selalu beres dan menyenangkan."




Dedeh




 




Pendiam Justru Repot




Kita justru patut curiga bila pasangan cenderung pendiam dan tak pernah bertengkar. Bila pribadinya tertutup, apalagi pada lelaki, "Justru lebih repot karena kita tak tahu ada apa dengan dirinya."




Karena itu, saran Elly, pasanganlah yang mesti memainkan atau menerima perasaannya itu. Misalnya, kalau kita lihat dari bahasa tubuhnya dia sedang pusing atau ada masalah, "Tanyakan dan jadilah pendengar yang baik." Kita harus berfungsi sebagai kaca yang memantul-mantulkan. "O, jadi begitu, ya, Mas, masalahnya? Berat sekali, ya..." Bukan dengan berujar, "Tuh, kan, aku sudah bilang... Makanya..."




Jika pasangan tak mau membuka masalahnya, tak perlu dipaksa. Mungkin ia belum siap dan kita yang harus pandai-pandai mencari saat yang paling tepat.




Dedeh




Beda Cara Pikir




Menurut Elly, cara pikir perempuan berbeda dengan laki-laki. "Laki-laki umumnya terlalu rasional dan lebih konsentrasi pada dirinya. Sedangkan perempuan lebih perasa dan berkonsentrasi pada sesuatu atau seseorang di luar dirinya."




Jadi, saat bicara, laki-laki tahu apa yang akan dikatakannya. Bahasanya pun seperti bahasa telegram, langsung pada sasaran. "Sedangkan perempuan, sambil bicara, dia mencari tahu. Dia sangat perasa dan ia pikir orang lain harus tahu bahwa dia perasa. Ia bicara pakai bahasa prosa atau panjang-lebar. Ia mau didengarkan, bukan kata-katanya, tapi perasaan di balik kata-kata itu."




Jika laki-laki dibesarkan dalam pola yang tak mementingkan perasaan, "Biasanya ia tak akan punya perasaan peka. Misalnya, sebagai anak lelaki, ia dilarang menangis, tak pernah dipeluk ibunya, atau dari kecil sudah berpisah dengan ibunya, dan sebagainya. Nah, bagaimana dia bisa memahami perasaan orang lain karena perasaannya sendiri ditiadakan?"




Jadi, kata Elly, "Jarang ada lelaki yang memahami perasaan wanita. Kecuali ada maunya dan sedang jatuh cinta." Di luar itu? Berlaku ungkapan, "Kalau kamu enggak bilang, bagaimana aku tahu?"




Dedeh

Comments :

0 comments to “TAK PERNAH BERTENGKAR? JUSTRU HARUS CURIGA!”

Post a Comment