Monday, March 17, 2008

IH, JUDESNYA !

IH, JUDESNYA !..




Itu lantaran si kecil mencontoh orang tuanya, selain ia merasa dipaksa kala disuruh berkenalan dengan orang lain.




Ketika lahir, tiap anak membawa karakternya sendiri-sendiri; ada yang cepat bersosialisasi, ada juga yang tidak. Nah, anak-anak yang judes, menurut Dra. Rose Mini A.P., M.Psi., boleh jadi karena bawaannya yang tak cepat akrab. Toh, hal ini bisa diubah dari awal dengan mengajarinya bersikap manis terhadap orang lain.




Yang jelas, ujar staf PD IV Subbidang Pengembangan Fakultas Psikologi UI ini, jika ada anak judes, lihatlah orang tuanya. "Mungkin salah satunya ada yang judes." Jadi, tegasnya, judes memang menurun tapi bukan secara genetik, lo, melainkan lewat modelling. Misal, orang tua irit bicara atau tak bisa langsung friendly sama orang. "Nah, si anak bisa mencontoh ini, hingga ia jadi kelihatan judes."




Jangan lupa, di usia-usia awal, anak lebih banyak berada di rumah. Hingga, bila ia tak pernah ke luar rumah, jangan heran jika akhirnya ia takut akan lingkungan ramai. Bukankah di rumah, ia tak pernah melihat keramaian itu? Akibatnya, ketika ia masuk ke sebuah pesta, misal, dipikirnya, "Siapa, nih, orang, kok, banyak banget?" Hingga, ia dilihat sebagai anak judes atau tak menyenangkan.




"Anak, kan, beda dengan orang dewasa yang bisa menyembunyikan keterkejutan dan ketakutannya atau bisa menahan emosinya. Sementara anak, tidak demikian, hingga yang keluar, ya... tampangnya yang cemberut itu," tutur psikolog yang akrab disapa Romi ini.




TIDAK MEMAKSA




Nah, jika persoalannya kurang sosialisasi, menurut Romi, kita harus membawa si kecil bertemu orang lain. Namun bukan dengan cara di"sekolah"kan, lo. "Memang, salah satu kegunaan 'sekolah' untuk mengajarkan bersosialisasi. Tapi bila di lingkungan terdekat, si anak banyak bertemu orang, mengapa ia harus cepat-cepat di'sekolah'kan?"




Terlebih untuk anak usia batita, lanjut Romi, masuk "sekolah" bukan kewajiban karena kita bisa mengajarkannya di rumah. Paling sederhana, jadilah model yang baik. Misal, bersikap ramah bukan hanya pada orang yang kita kenal saja, tapi juga pada anak kecil lain yang kita temui, "Halo, Sayang, namanya siapa?" Dengan memberi contoh semacam ini, kita secara tak langsung mengajari si kecil bersosialisasi. Bukankah masa batita adalah masa peniruan?




Namun ingat, jangan memaksa si kecil. "Anak harus merasa bahwa sosialisasi itu menyenangkan, indah, dan menguntungkan dirinya." Sayangnya, secara tak sadar kadang kita malah memaksa si kecil. Misal, kala mengajaknya ke mal, kita asyik cuci mata dari satu toko ke toko lain tanpa mengindahkan si kecil yang capek ngikutin, lalu bertemu seorang kenalan dan mengobrol ke sana ke mari. "Ini, kan, bisa membuat sebal anak. Eh, lagi sebal-sebalnya, lalu disuruh salaman. Ya, enggak heran kalau yang keluar malah judes, bukan ramah."




Kemudian, saat mengenalkan, kita juga harus pakai trik khusus untuk menumbuhkan kebutuhan dalam dirinya. Misal, "Dek, Tante Sita ini pintar bercerita, lo. Adek mau enggak dengerin ceritanya? Pasti seru, deh! Yuk, kenalan dulu sama Tante Sita."




JANGAN DITAKUTI




Bisa juga, bila si kecil curious melihat seseorang yang membawa sesuatu, kita ajak ia untuk berkenalan, "Kita tanya, yuk, Dek, si Om itu bawa apa. Tapi kita harus kenalan dulu, ya." Dengan begitu si kecil menangkap, sosialisasi itu indah karena ada kebutuhan. Hingga, ia pun tak ragu-ragu bila ingin mengajukan pertanyaan atau berkenalan dengan orang.




"Sering, kan, tanpa sadar orang tua membuat anak jadi takut dengan lingkungannnya karena sering ditakut-takuti dengan profesi tertentu, satpam, misal. Ini secara tak langsung membuat anak jadi tak bisa bersosialisasi. Hingga, fungsi satpam yang tadinya bisa memberi informasi ketika anak tersesat, misal, malah tak dilakukan karena anak tak berani bertanya lantaran takut," tutur Romi.




Selain itu, lanjutnya, anak pun jadi gampang curiga. Ketika ia dihadapkan dengan orang yang sebenarnya baik, tetap saja ia curiga lalu bersikap judes. "Memang, sih, kita juga harus menjaga anak agar tak terlalu akrab dengan orang asing. Namun, tetap kita harus juga menanamkan agar ia bersosialisasi dengan baik." Jadi, katakan saja, "Dek, kalau ada yang bertanya, kita harus menjawab. Tapi Adek juga harus hati-hati, jangan cepat akrab, dan kalau diajak ikut jangan mau."




AJARKAN CARA MENGEKSPRESIKAN




Biasanya, kala si kecil bersikap judes lantaran merasa dipaksa saat disuruh berkenalan, kita lantas mengalah, "Ya, sudah, deh, enggak usah." Akibatnya, ia menangkap, cara mengatakan "tidak" ke kita memang seperti itu. Makanya, ingat Romi, bila si kecil ogah berkenalan, jangan dipaksa.




Selanjutnya, yang harus diajarkan pada si kecil adalah cara mengekspresikan diri. "Buatlah ia sadar bahwa mengekspresikan diri tak perlu dengan bersikap judes atau dengan cara-cara yang tak lazim seperti memukul-mukul kepala sendiri." Misal, "Dek, kalau Adek enggak mau kenalan, bilang saja enggak mau atau bisikin Bunda."




Dengan demikian, si kecil jadi tahu, oh, ternyata ada cara lain untuk menyatakan 'tidak suka', bukan dengan bersikap judes atau guling-guling atau menangis berteriak-teriak yang malah membuat orang lain belum tentu bisa mengerti.




Lebih baik lagi, lanjut Romi, bila ada contoh yang bisa ditunjukan pada anak. Misal, ketika sedang jalan-jalan di mal ada anak menangis, kita tanya. "Adek tahu enggak anak itu menangis mau apa?" Kalau ia jawab tak tahu, katakan saja, "Kalau Adek mau apa-apa, jangan dengan menangis atau cemberut, ya, karena Bunda dan Ayah enggak tahu Adek maunya apa. Tapi kalau Adek ngomong pasti Bunda dan Ayah jadi lebih tahu."




Kita pun harus rajin melatihnya mengekspresikan diri. Salah satunya, dengan media seperti cermin. "Dek, coba lihat wajah Bunda, kalau lagi cemberut jelek, ya? Atau, "Kalau Bunda lagi marah seperti ini wajahnya kayak macan, ya? Kalau Adek marah kayak macan juga enggak? Tuh, kan sama?" Dari sini si kecil belajar melihat ekspresinya sendiri karena sebelumnya yang ia lihat hanya ekspresi orang lain.




TAK HARUS SALAMAN




Satu hal yang perlu diperhatikan, ujar Romi, cara say hello pada orang tak harus dengan memberi salam. "Kenapa, sih, tiap anak bertemu atau ingin mengucapkan selamat tinggal harus dengan salaman? Yang menganggap salam itu sebagai sesuatu yang sopan dan manis, kan, orang tua. Belum tentu dengan si anak," tuturnya.




Jadi, kalau si kecil hanya bilang "bye-bye" atau "da...da...", enggak apa-apa. Bahkan, bila ia melakukannya dengan cara "tos", yaitu menepukkan telapak tangan kita dengan telapak tangan orang lain, atau menempelkan jempol dengan jempol, juga tak masalah, kok. Toh, itu semua juga sosialisasi. Lagi pula, tandas Romi, "yang penting, kan, bukan salamannya, melainkan kesediaan anak membuka diri pada orang lain."

Comments :

0 comments to “IH, JUDESNYA !”

Post a Comment