Tuesday, March 25, 2008

SENDIRIAN MENGHADAPI KEHAMILAN

SENDIRIAN MENGHADAPI KEHAMILAN


Sekalipun suami tak bisa mendampingi selama menjalani kehamilan, jangan biarkan segala macam emosi negatif mengganggu kita karena akan merugikan janin.

Cemas dan sedih, itulah yang kerap dialami oleh ibu-ibu yang terpaksa menjalani hari-harinya bersama sang buah hati di kandungan tanpa kehadiran suami tercinta. Terlebih pada kehamilan pertama, menurut psikolog Yati Utoyo Lubis, perasaan tersebut akan makin kuat terasakan. "Kalau kehamilan anak kedua atau ketiga, sih, si ibu sudah punya pengalaman. Jadi, ia sudah tahu apa yang bakal dihadapinya, hingga kecemasan itu tak begitu besar. Namun untuk kehamilan pertama, terlebih kehamilan merupakan suatu peristiwa penting dalam hidupnya, maka si ibu pasti memerlukan dukungan sosial, terutama dari suaminya."

Apalagi, kita tahu kehamilan membawa perubahan besar dalam diri si ibu. Bukan cuma perubahan fisik (tubuh yang makin membesar seiring tumbuh kembang janin), melainkan juga hormonal dan emosional. Padahal, perubahan hormonal yang terjadi akan sangat berpengaruh pada emosi si ibu, hingga ada kecenderungan ingin dimanja oleh suami tercinta selama kehamilannya. Nah, dengan tak adanya suami, tentulah kebutuhan itu tak bisa terpenuhi, hingga bisa menimbulkan kesedihan pada dirinya.



Bukan cuma itu. "Si ibu pun punya beban psikologis pada dirinya. Ia sekarang bukan yang dulu lagi karena dalam dirinya sekarang ada manusia lain yang harus diperhatikan kesejahteraan dan keselamatannya. Jadi, ada semacam beban tanggung jawab." Hingga, sungguh masuk akal bila saat-saat seperti itu tak ada suami, si ibu jadi cemas, "Kalau ada apa-apa dengan kehamilanku, bagaimana? Pada siapa aku harus bertanya? Bagaimana jika harus mengambil keputusan dengan cepat terhadap kehamilanku ini?"

Terlebih jika tak ada keluarga lain. "Keluarga muda sekarang, terutama yang hidup di kota besar seperti Jakarta, banyak yang tak punya keluarga dekat. Banyak, kan, orang dari daerah datang ke Jakarta, lantas saling bertemu di sini dan menikah? Memang, sewaktu mereka menikah, keluarga besar berdatangan. Namun begitu usai pernikahan, mereka tinggal berdua lagi." Nah, kala tiba dirinya hamil ternyata harus berpisah dengan suaminya untuk jangka waktu lama, entah lantaran suami ditugaskan ke kota lain atau tugas belajar di luar negeri, tentu ia akan merasa sendirian. "Hingga yang muncul adalah perasaan cemas bila ia harus mengurus sendiri kehamilannya."

TERGANTUNG KEPRIBADIAN

Namun, seberapa tebal kadar kecemasan itu, ikut ditentukan oleh kepribadian si ibu dan latar belakangnya. Menurut Yati, ibu-ibu yang berasal dari keluarga yang pernah melihat anggota keluarganya hamil atau ia sendiri malah pernah mengurus orang hamil, tentu kecemasannya tak terlalu besar dibanding kalau ia datang dari keluarga yang tak pernah mengurus anak kecil atau melihat orang mengurus kehamilannya. "Setidaknya, kalau ia pernah melihat orang mengurus kehamilannya, ia jadi tahu bagaimana kehamilan itu berlangsung dan kejadian apa saja yang biasa menimpanya. Dengan demikian, kala dirinya hamil, ia merasa lebih siap menghadapinya. Selain itu, ia pun akan tahu, tak ada yang perlu ditakutkan dalam kehamilan."

Karakter si ibu pun ikut menentukan; ada yang sangat tergantung pada suami dan ada yang sangat mandiri. "Kalau ia sangat tergantung pada suami, tentu ia takkan bisa mengambil keputusan tanpa minta pertimbangan suaminya. Hingga, kala suami harus pergi di saat-saat peristiwa penting terjadi pada dirinya, tentu ia makin dilanda kecemasan." Tak demikian kalau ia sangat mandiri dan selalu berpikir optimis. "Biasanya dapat berpikir positif. Kalau ada apa-apa, saya tinggal menelepon dokter, teman, atau orang tua, misal." Soalnya, jelas Yati, bagaimanapun si ibu pasti dilanda kesenangan, terlebih bila itu anak yang ditunggu-tunggu, hingga ada rasa ingin mengurusi benar anaknya. "Jadi, kalaupun ia sedih dan cemas ditinggal suami, ia akan cepat menepis kesedihan dan kecemasannya karena ia sadar kalau sedih jangan lama-lama."

Seperti diketahui, gangguan emosi yang kental, terutama di trimester pertama kehamilan, akan berpengaruh pada janin. "Saat itu, kan, janin sedang dalam masa pembentukan, termasuk pembentukan otak. Jika si ibu depresi terus akan melahirkan bayi yang sulit dan unhappy." Selain itu, juga akan mengakibatkan pertumbuhan bayi terhambat atau BBLR, karena umumnya ibu yang depresi tak mau makan dan istirahatnya pun kurang hingga berpengaruh pada kandungannya. Padahal, kita semua tahu, BBLR tak baik buat kualitas bayi. Itu sebab, sebaiknya kita menjaga agar jangan sampai ada sesuatu yang menimpa janin.

"Pergolakan emosi sebaiknya dicegah atau diatasi sedini mungkin," anjur Yati. Jika suami pergi dalam waktu lama tentu sebelumnya sudah ada perencanaan, hingga sebaiknya semuanya juga sudah diatur sebaik mungkin. "Mungkin si ibu bisa kembali ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu atau memanggil saudara atau orang tua untuk tinggal bersamanya. Setidaknya ada yang mendampingi selama kehamilan berlangsung." Jika keluarga juga jauh, saran Yati, rangkullah para tetangga atau teman baik. "Itulah pentingnya bertetangga yang baik. Jadi, kalau ada apa-apa, kepada merekalah kita bisa minta bantuan." Pun jangan lupa untuk menjalin kerjasama yang baik dengan dokter. Hingga, bila ada apa-apa sudah tahu langkah apa yang harus dilakukannya.

CARI TEMPAT PELEPASAN

Memang, aku Yati, perasaan sedih, cemas dan merasa sendirian pasti tetap ada. "Pasti akan terasa sangat berat harus memelihara kehamilan sendirian. Baik bagi ibu yang tinggal sama orang tuanya, terlebih yang tinggal sendirian, karena ia menghadapi sesuatu yang baru. Semua manusia kalau menghadapi sesuatu yang baru pasti akan stres. Namun stres itu setidaknya bisa dikurangi, terlebih kalau kita berpikir proaktif, suami bakal pergi berapa lama? Kalau saya berlama-lama sedih terus, bagaimana dengan janin saya? Jadi, secara kognitif kitalah yang mengubah pikiran. Kita berusaha mengontrol emosi dengan baik."

Caranya, cari tempat pelepasan emosi. "Mungkin kalau sendiri dengan buku harian atau bisa bercerita kepada teman atau saudara." Berdasarkan pengalaman, tutur Yati, biasanya dukungan sosial dari teman sangat besar kala kita hamil, terutama jika suami tak ada. Selain itu, terus berhubungan dengan suami lewat telepon, surat atau e-mail. "Menulis surat atau berkirim kabar rutin ke suami juga bisa meringankan beban emosi kita. Setidaknya kita jadi merasa, walau tak bersama-sama, tapi kita berdua sama-sama membesarkan janin di perut ini."

Jadi, tegas Yati, si ibu sendirilah yang harus punya kekuatan untuk meng-cut, "Stop, ini enggak bagus untuk anak saya." Manusia itu, kan, punya emosi negatif dan positif. Nah, bagaimana mengatasi emosi negatif, semuanya berpulang ke diri sendiri. "Apakah ia mampu mengubah perasaan yang buruk itu menjadi perasaan yang baik atau dimotivasi untuk maju."

Misal, bila timbul perasaan, "Kok, orang lain punya suami yang bisa mengantar ke dokter atau ke mana saja, saya tidak. Sedih, deh." Namun bila kita bisa mengubah pikiran, "Enggak apa-apa, kalau saya berhasil melahirkan anak saya dengan selamat tanpa suami, justru saya lebih hebat dari mereka, dong."

Jika motivasi internal ini tak dimiliki si ibu, menurut Yati, semestinya pihak luar ikut mendorongnya. "Beri ia terus dorongan moral dan kesempatan untuk membuka diri dan mengemukakan kecemasannya. Kalau perlu antar ke dokter untuk konsultasi bila ada sesuatu yang dirasakannya."

SUAMI HARUS MAKLUM

Tentunya suami pun harus memaklumi perubahan emosi istrinya yang sedang hamil. Hingga, suami tak perlu panik atau kaget jika istri suka menangis kala meneleponnya. "Bagaimanapun, keinginan untuk bermanja itu ada akibat adanya perubahan hormonal. Bahwa ada perasaan, ini, lo, aku bawa anakmu. Sekarang aku sendiri yang mengurusi," tutur Yati. Namun, suami juga tak harus buru-buru pulang gara-gara mendengar keluhan dan tangisan istri. Soalnya, ia pulang pun tak menyelesaikan masalah. "Jikapun ada kejadian medis yang gawat, toh, bisa dibicarakan kemungkinan-kemungkinan cara mengatasinya. Namun kalau hanya depresi sedikit, mungkin suami bisa mengontak keluarga untuk mendampingi si istri, selain ia secara tetap mengontak istri."

Di sisi lain, tak ada salahnya jika sesekali suami datang menengok bila keuangan dan waktunya memang memungkinkan untuk pulang. Namun jika tak bisa, "suami harus rajin men-support istri lewat surat, e-mail, atau telepon." Menurut Yati, suami harus sadar bahwa istri bukan sekadar manja biasa, tapi karena memang ada perubahan hormonal di tubuhnya yang menyulut ke perubahan emosi. "Alangkah baiknya jika suami terus mengungkapkan pada istri bahwa 'Kamu tidak sendirian, tapi ada saya. Saya selalu memantau dan menjaga kamu walau saya tak berada di sisimu.' Support seperti ini sangat penting buat istri karena berarti suami tak meninggalkan dirinya begitu saja. Yang sering membuat stres seseorang itu, kan, adanya perasaan sendirian di dunia ini."

Terlebih jika suami mau mengungkapkan perasaannya sedikit, misal, "Kemarin saya enggak bisa belajar, nih, karena mikirin kamu terus, kamu jadi harus mengatasi semuanya sendiri." Nah, celetukan seperti ini akan membuat si istri berpikiran, "Oh, suami memperhatikan saya." Jadi, tandas Yati, para suami hendaknya jangan malah cuek pada kehamilan istri, tapi cobalah untuk mengekspresikan perasaannya. "Memang, banyak lelaki kita yang tak biasa mengekspresikan perasaanya karena ia memang tak dididik untuk demikian. Kita, kan, sering salah kaprah dalam mendidik anak dengan mengatakan, wanita lebih emosional sementara lelaki lebih rasional, hingga kaum lelaki diharapkan tak menitikkan air mata. Hal ini yang membuat anak lelaki kemudian selalu berusaha keras untuk menahan diri dari emosinya, hingga akibatnya ia jadi tak ekspresif."

Tak ada salahnya, kok, Pak, sekali-kali mengekspresikan perasaan kepada istri. "Pakai sebaris kalimat pun sudah cukup. Asalkan mengisyaratkan rasa sayangnya, istri juga pasti menangkap, kok," bilang Yati.

HANYA TRIMESTER 1 DAN AKHIR

Umumnya, pergolakan emosi si ibu lebih banyak terjadi pada trimester pertama kehamilan. Soalnya, jelas Yati, di trimester selanjutnya, biasanya hormonal tak lagi bergejolak, hingga emosi pun tak lagi berpengaruh. Si ibu pun biasanya sudah bisa berpikir rasional. Walaupun tak menutup kemungkinan, ada ibu yang hingga persalinan akhir pun tetap saja merasa cemas dan sedih. "Terutama kalau fisiknya juga lemah, hingga ia merasa tak bisa kuat menjaga kehamilannya sendiri."

Selanjutnya, perasaan cemas dan sedih akan kembali datang di akhir kehamilan atau mendekati masa-masa persalinan. "Ini saat paling dirasakan benar kehadiran suami di sisinya. Suami pun biasanya ingin hadir pula di saat-saat anak yang diharapkan itu datang." Saran Yati, sebaiknya suami ikut hadir di saat persalinan si istri, agar ia juga melihat bagaimana istrinya berjuang dalam melahirkan. "Karena apresiasi suami akan lain kalau ia melihat kejadian dan perjuangan istri saat melahirkan. Ia akan lebih sayang, lebih care pada sang istri. Ia juga akan merasakan bahagia saat itu."

Indah Mulatsih.

Comments :

0 comments to “SENDIRIAN MENGHADAPI KEHAMILAN”

Post a Comment